Matahari
tunjukkan kekaisarannya dikala akan rasuki ujung barat dunia, menjelma menjadi
senja dan nyatanya mengagumkan seluruh umat. Seorang gadis kecil di sampingku
rupanya sangat menyukai suasana dikala senja. Atau mungkin rasa sukannya
terhadap senja hari lebih pantas disebut cinta. Entahlah apa yang
melatarbelakangi rasa kagum dan cintanya terhadap sinar merah mentari ketika
ucapkan wassalam ini? Apa karena nama
gadis ini Senja sehingga dia teramat kagum dengan senja hari yang larutkan
keindahan? Entahlah
Dengan umur yang masih tunjukan jarumnya di angka delapan, Senja sudah
tahu makna kagum dan cinta terhadap sesuatu. Dia memang bocah yang pandai, dan
aku yakin senja harilah yang akan mendorongnya kea rah kesuksesan.
“kak Juna, kak Juna janji kan akan selalu temani Senja melihat
keindahan senja hari di danau ini?” ujar Senja
“kakak janji Senja, kakak akan selalu temani Senja.”
“terimakasih ya kak, kakak memang kakak yang baik.”
Matahari rupanya sudah tak tahan dengan posisii menggantung di barat
terlalu lama. Tanpa ucapkan salam dia pun undurkan diri dari pandangan Senja
yang kagum terhadapnya. Dengan begitu aku akan sebatang senyum mengalir di
bibir Senja, seraya mengajakku pulang kerumah.
Hari semakin tak terang di buat alam. Ku tuntun lengan kecil Senja
dengan kadar sayang yang teramat tinggi. Kita lalui jalan setapak kecil ke arah
kota agar raga dua insan ini pijakkan kaki di tempat yang disebut Griya. Malam ini
rupanya berbeda dengan malam-malam yang lain. Perasaan tak tahu rasa tercampur
di larutan jantungku. Aku takut akan terjadi sesuatu dengan gadis yang teramat
ku cinta ini. Sebab aku tak kuat jika harus lihatnya menderita.
Jalan yang kita lalui semakin menjahui danau, keramaian kota pun sudah
terasa di tempat ini. Delapan kali jumlah yang tak mampu kutafsir panjang aspal
mulai dilalulalangi kendaraan. Senja yang sedari tadi berjalan jauh rupanya
sudah mulai lelah.
“kak, Senja haus.”
“kamu tunggu disini sebentar ya, kakak mau belii minum.”

“iya kak.”
Sementara sesaat aku tinggalkan Senja duduk sendiri di pos jaga. Sebab
rasa haus di tenggorokan Senja wajibkan aku untuk seberangi sungai aspal untuk
dapatkan sebotol air mineral dari toko si seberang. Kulihat Senja dari
posisiku. Saat ini tak dapat lagi ku pegang pergelangannya sebab jarak
sejengkal aspal halau hadirnya. Yang ku bisa kini hanya pandangi mungil raut
wajahnya sambil kupastikan bahwasanya ia tak apa-apa ku tinggal sendiri di
seberang sana.
“mau beli apa nak?” sapa seorang
ibu penjaga toko
“air mineral satu bu.” Jawabku
“yang ukuran besar apa yang
ukuran sedang?”
“yang….”
Belum sempat kulanjutkan pilihanku diantara dua volume botol itu suara
seorang lelaki gemparkan suasana disekitar titik wujudkan.
“awasss!!!”
Seorang gadis delapan tahun terserempat sebuah mobil peti kemas dari
arah barat. Malang sekali nasib gadis kecil itu. Kupandang lagi Senja di makan terakhir aku tinggal dia. Karena
aku takut terjadi sesuatu padanya. Namun, tak kujumpai raga gadis mungil itu
disana. Apakah yang tertabrak tadi? Tidak mungkin dia Senja. Tak sadar aku
berlari menuju kerumunan insan yang menyaksikan tubuh bocah yang tengah
terkapar dijalan. Kuterawang dengan pasti bahwa tubuh itu bukan Senja. Tapi
takdir berseberangan dengan apa yang aku harapkan gadis itu memang…
“Senja!!!” teriakku kemudian.
***
Terdiam aku tertimpa renungan aku kini di Lorong sepi dengan dua lampu
di ujung yang saling bejahuan. Hanya mereka yang kini temani kesendiriankku
kini. juga papan dengan tiga huruf times
new roman. UGD, pandangi aku yang kini sepi. Tak dapat kutafsir keadaan gadis
yang paling kusayang diruang di balik papan itu. Aku khawatir terkadang juga
tak sanggup apabila senja harus merasakan hal yang menyakitkan dalam hidupnya.
Kusaksikan keadaan dua jarum dalam tabung yang terkait di lenganku
telah capai sudut siku. Tepatnya tiga jam sudah Senja berada diruang itu. Hati
serta rasaku semakin gemuruh. Yaa Allah jangan biarkan Senja menangis. Doa ku
dalam sanubari yang tak dangkal letaknya.
Seorang lelaki dengan pakaian asing berwarna hijau tunjukkan raganya
dari dalam ruang. Harap digiling cemas aku dengan apa yang terjadi. Melihat
wajahku yang semrawut dia makin gugup tuk ucapkan sesuatu.
“apa yang terjadi pada senja dokter?” tanyaku
“sayang sekali mas.” Jawabnya menyesal.
“apa senja sudah tiada dokter?"
“tenang dulu mas, gadis itu masih hidup.”
“lalu apa yang terjadi padanya dok?”
“kornea matanya rusak sebab kemasukkan pecahan kaca sepion mobil,
akibatnya dia mengalami kebutaan.”
Sedih semakin
tertanam di Qalbu-ku. Terawang masa
depan dimana Senja yang aku sayang tak mampu pandang indahnya langit senja. tak sanggup aku meminum tetesan air
dari ‘ain nya.
“terus apa ada kemungkinan mata Senja sembuh dok?” tanyaku melanjutkan
“untuk kemungkinnan sembuh, insyaAllah ada, dengan adanya donor kornea
untuk senja.”
“apa donor itu sudah ada dok?”
“donor kornea sangat sulit diperoleh, mas. Jadi saya mohon maaf.”
“gunakan saja mata saya dokter. Dengan begitu Senja dapat melihat
lagi.”
“tidak bisa. Donor mata hanya bisa didapat dari orang yang sudah
meninggal.”
Menyesal kini aku dengan perbuatanku tinggalkan senja sendiri di pos
jaga. Seandainya aku tak meninggalkannya pasti semua ini akan baik saja, dan
senja akan terus bisa saksikan matahari yang menggantung itu.
***
Bimbang aku dengan apa yang harus kulakukan. Apa aku harus lepas
aksesoris tubuhku itu demi sembuhnya senja. Kini diriku seperti sebuah komputer
yang di install dua operating system sekaligus.
Tapi seorang donor kornea haruslah dari seseorang yang telah meninggal.
Tertawa terbahak-bahak iblis berkaos merah bertuliskan prosshop di janib-ku. Seolah senang dengan posisiku seperti ini hingga dia
bisikkan usulannya di telingaku, usulan yang bukanlah sembarang usul. Usul luar
biasa yang membuat hatiku tertarik, meskipun dengan usulan itu harus ku akhiri
nafasku.
Rupanya usulan serta saran iblis itu mampu membilas sehat akalku. Kini
mulai kutulis dua pucuk surat dengan not haru. Agar setelah nanti aku serap
sebotol jamu pembasmi nyamuk ditanganku semua akan berjalan seperti yang aku
harapkan.
Surat pertama kutujukan untuk dokter yang menangani Senja.
Banyak sekali
hal bodoh yang telah aku lakukan dalam hidupku. Tak pedulikan segala hal yang
ada di sekitarku. Namun kali ini aku lakukan hal yang paling bodoh, tapi dalam
hatiku hal bodoh ini adalah kunci agar Senja bisa dapatkan lagi senjanya. Untuk
itu aku korbankan nyawaku demi kornea mataku yang nantinya akan berpindah hak
milik menjadi milik senja sepenuhnya. Tapi jangan sampai Senja tahu bahwa
kornea itu adalah milikku, kakaknya.
Dan surat kedua kutulis dengan nada kepura-puraan
untuk senja.
Senja, maafkan kakak terpaksa pergi jauh demi bisa membiayai operasi
matamu. Senja jangan sedih karena kakak nantinya akan pulang dan kita sama-sama
menikmati keindahan senja hari lagi. Senja harus janji sama kakak, Senja harus
kuat meski tanpa ada kakak di samping Senja.
Setelah kedua lampiran surat telah di cetak
melalui titik rongga di ujung pena ku secara otodidak sebotol cairan pembasmi
serangga itu pun mengalir di tenggorokanku. Seraya kemudian sebuah tirai hitam
kelam raksasa dengan
tulisan the end terbuka halau
pandangku.
*Santri kelas III Intensif C, asal Lumajang.