Wildan Ismail*
L
|
umajang adalah kota terindah dalam hidupku. Kota yang sangat teramat berjasa akan pertumbuhanku. Kota yang ajariku untuk menulis, membaca, dan mengenal segalanya. Kini setelah sekian lama kutinggalkan kota dimana air ketuban ibuku pecah, kini aku pulang dengan sejuta harap.
Akhirnya perusahaan memberikan cutinya untukku. Setelah berbulan-bulan bekerja mengejar deadline berita yang dimuat di Harian Metropolis tempatku bekerja. Kemampuanku mengolah berita harus kusimpan sejenak, untuk menguras pikiran-pikiran kotor yang telah bertahun mengendap tak pernah diganti menjadi pikiran yang serba jernih layaknya made in PDAM.
Hari ini aku akan pulang ke kampung halaman mengobati rasa rindu bercampur kangenku terhadap sosok seorang ibu dan juga sanak-sanakku di sana. Rasa kangenku juga mengalir kini kepada seorang gadis sahabat kecilku dulu. Fitri. Teringat bayangannya ketika dulu kami main bersama dikala umur kami sama-sama mogok di tahun ke tiga kehidupan. Hingga persahabatan terjalin sampai kami sama masuk SMP. Kami bersahabat lebih dari sekedar dekat.
Namun, kini setelah keras aku bekerja di balik meja redaksi Harian Metropolis akhirnya atasanku baru memberi cuti panjang kali ini setelah lima tahun aku bekerja.
Mesin Alphard sudah aku panaskan, bekal beserta beberapa helai pakaian telah aku kemas rapi dalam sebuah tas ransel hijau tua yang dibelikan ibuku dulu. Tinggal kulajukan mobil ke sebuah kota kabupaten di bawah indahnya puncak Semeru. Lumajang, ya itulah tujuanku.
***
Perjalananku berakhir setelah jarum pendek dalam jam yang mengkait di lenganku berputar tiga kali. Suasana kota kelahiranku ini hampir tak ada perubahan setelah kutinggal bertahun-tahun lamanya. Kutambah kecepatan roda kendaraanku karena rasa rinduku kepada semua insan yang kukenal di kota ini tak kuat kubendung, terutama rasa rinduku kepada seorang ibu yang membesarkanku. Tentunya juga Fitri.
Kuparkir di halaman rumah yang kini rata dengan paving. Padahal dulu masih asli dengan gembur tanahnya yang sering disiram oleh nenekku agar tak berdebu. Sambutan tak terhindarkan. Rupanya ibu bersama sanak yang lain juga sahabat-sahabatku sudah menantiku dengan hidangan yang kelihatan nikmat tentunya. Tapi, kekecewaanku tiba-tiba terbit, tak kujumpai Fitri di sini, apa dia sudah tak pedulikan aku, sahabatnya?
Bersusah payah aku sembunyikan kekecewaanku dari pandang sanak yang menyambut hadirku. Senyum selalu ku jajakan kepada seluruh insan yang ada di griya ini.
“Bagaimana kerjamu, le?” Tanya ibuku.
“Alhamdulillah, lancar Bu.” Jawabku tenang.
“Kami selalu berlangganan surat kabar tempatmu bekerja, Dan.” Sahut seorang sanak.
Lelah aku setelah tuntaskan lalu lintas Jakarta hingga titik rumahku di Lumajang. Sejenak atau mungkin lama kubaringkan gempal tubuhku pada kasur di ruang tengah yang biasa kutiduri semenjak aku SD, dan mengeja setiap huruf mimpiku menjadi rangkaian ingat masa-masa kecil bahagiaku di sini dulu.
***
Mentari pagi perjelas garis lukis Semeru, menambahkan titik indah panorama tanah pisang agung. Kuputuskan untuk jalan-jalan di sekitar rumahku. Tegur sapa sering kuterima dan kubalas dengan sapa pula. Langkahku berhenti di depan sebuah rumah yang mengingatkan masa lalu. Itu adalah rumah Fitri. Rumah gadis kecilku dulu. Berharap kini Fitri keluar tunjukkan sosok dewasanya dari kediamannya, tapi hingga berlama-lama aku di sini tak kujumpai lekuk senyumnya.
Kekecewaanku semakin pekat sdah dua hari aku di rumah namun, wajah sahabatku tak kunjung kulihat, apa yang terjadi dengannya apa ia sudah tak ada di rumah ini lagi? Atau dia telah membenciku setelah lima tahun aku pergi tanpa kabar.
Sarapan pagi buatan ibuku terasa nikmat di lisanku, mempererat kasih ibuku yang semakin surut lantaran jarak mengukurku dengannya selama ini. Bayangan Fitri muncul di tengah-tengah prosesi sarapanku. Tanpa basa-basi kutanyakan kabar Fitri pada ratu kehidupanku itu.
“Banyak hal yang terjadi le, ketika kamu pergi ke Jaarta dulu.”
“Maksud Ibu?”
“Fitri sudah menikah le dengan pemuda Bondowoso.”
Syukurlah akhirnya sahabatku itu ada yang menjaga, kalau-kalau aku kembali ke rutinitas keredaksianku di Jakarta. Aku yakin lelaki itu baik dan mampu mendidik Fitri dan anaknya kelak sesuai kaidah agama. Dan pikiranku pun menyimpulkan bahwa lelaki itu teramat beruntung dapat persunting senyum sahabatku itu hingga buatku iri.
“Tapi le.”
“Tapi apa Bu?”
“Suami fitri rupanya mentalnya terganggu, hingga ia sering pukuli fitri sahabatmu tanpa sebab dan tanpa belas kasih, fitri pun tak diperkenankan keluar rumah olehnya.”
Ucapan ibuku membuatku terkejut. Jadi lelakii yang membuatku iri adalah seorang lelaki gila yang gemar lakukan tindak kekerasan. Tak bisa di biarkan.
“Tapi mengapa orang tua Fitri diam saja Bu?”
“Ibu juga tak tahu le.”
Tak habis bahan bakar pikirku. Bukankah orang tua Fitri adalah sosok orang tua yang tegas. Apa sebenarnya yang terjadi di sini? Apa yang dimiliki lelaki durjana itu hingga membuat mertuanya tunduk terhadapnya. Ini sungguh tak wajar. Sesungguhnya semua ini perlu untuk diluruskan.
***
Hidangan malam telah dunia masak, membentuk rangkaian gugus di papan langit. Bulan menyanyi karaoke ditemani angin malam kota ini. Kesal berselimut amarah tertancap makin dalam letaknya di hatiku. Malam ini aku menyusup ke rumah Fitri dengan wajah tertutup guna mengetahui apa yang terjadi di rumah kecil berwarnakan ungu itu? Endap-mengendap aku bagai maling. Oh tidak, ratusan bahkan hampir ribuan kasus pencurian telah kutulis di kolom kriminal Harian Metropolis. Tapi malam ini aku harus bertingkah layaknya pencuri seperti tokoh utama dari berita yang kukabarkan itu. Menyusup rumah orang tanpa permisi merupakan sesuatu yang tak pantas kulakukan, apa lagi sebagai seorang santri, tapi kemarahanku kepada suami Fitri menutupi kenyataan. Aku kini berada di ruang tengah, tempatku dulu bercengkrama dengan Fitri. Tak kujumpai seorangpun di sini. Kubuka pintu kamar utama, di sana kujumpai Fitri dalam matanya yang terbenam seakan mengadu padaku. Di sebagian wajahnya kutemukan luka memar seperti habis dihantam benda tumpul. Ini akan menjadi berita menarik di Harian Metropolis, seandainya ini bukan kasus yang melibatkan sahabatku. Tak akan kubiarkan media mana pun mencium kasus KDRT ini. Biarlah aku yang selesaikan kasus sahabatku itu.
Seorang lelaki pergokiku masuki rumah ini, wajahnya tak perna kulihat, ia begitu asing dipandanganku, pasti ia suami Fitri. Apa yang harus aku lakukan kini?
“Dasar maling!!” Tegurnya dalam Jawa yang kasar.
Ya Allah aku telah jadi pembunuh, ampunilah aku. Doaku dalam Qalbu.
Aku masih terdiam di titik berdiriku, tak tahu harus lakukan apa di saat posisiku terdesak seperti ini. Dengan terpaksa kuambil gunting di atas meja dan kutusukkan gunting itu ke perut lelaki tersebut.
|
***
Untuk mengobati trauma di hati Fitri kuputuskan untuk gantikan posisi Randi. Menjadi suaminya. Jujur saja cinta memang terselip di antara persahabatan kami. Dan rencananya aku akan membawa raga sahabat kehidupanku itu ke Jakarta guna menghibur jiwanya yang labil.
Koran pagi mampir di beranda rumahku. Kuambil dan kubaca Koran ini. Harian Metropolis. Apa berita terbaru yang ditulis rekan-rekan redaksiku di sana. Kubaca di rubrik utama, sebuah berita yang membuat seisi tubuhku gempar tertulis di sana. Kasus seorang perempuan yang dianiaya suaminya terpahat di sana, namaku pun diseret-seret ke berita itu. Memberitakan kabar tentang Fitri yang dalam berita itu terdapat nama seorang redaksinya. Namaku. Aku telah bersumpah kepada diriku sendiri akan mengutuk media yang menuliskan media itu. Walaupun itu adalah media tempat aku menafkahi keluargaku.
Emosiku memuncak. Ku ambil handphone di saku belakang celanaku. Kupetualangi buku telefon hingga kutemukan nama seseorang disana. Bos. Itulah nama yang kutemukan di ponselku tanpa pikir panjang kucall nomor yang tertempel lekat dengan nama itu.
“Halo.” Sahut dari seberang.
“Halo Bos, aku Dani. Aku pustuskan mulai hari ini berhenti bekerja darimu.”
Buru-buru kututup telefonku dan seraya langsung kuhantamkan ke lantai bersama lembaran Harian Metropolis yang mulai saat ini bukan lagi tempatku mengais nasi. Sambil aku berteriak.
“Sialan!!!!”
*Santri kelas lll Intensif C, asal Lumajang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar