T
|
erkadang nasib memang tak memihak pada
orang-orang pedalaman, meskipun sejatinya dari yang dapat kuamati semangat kami
lebih membara dibandingkan kebakaran di kota besar yang melahap ratusan rumah.
Aku sadar akan toleransi para korupsi yang jarang mengayomi orang-orang bodoh
seperti kami. Kaum bodoh yang selalu percaya bahwa kami bisa bersinar seperti
mentari. Dan menari bersama para mentri yang biasa di temui di
diskotik-diskotik tempat keluarga bodoh kami menari.
***
Disore seperti ini
berduyung-duyung aku dan kawan kecil di desa sekitar 150Km dari ibukota irian
jaya senantiasa berkumpul menuju balai desa. Mengikuti pelatihan membaca dan
menulis untuk kaum bodoh buta huruf seperti kami. Tentu saja dengan
keterbatasan hingga pensilpun kadang harus bergantian. Tapi aku tak pernah
putus dari keyakinan, sehingga hasratku untuk pintar membuatku tak pernah
terlambat datang menadahi ilmu dari guru kiriman ibu kota ternama yang di utus
untuk mengurus desaku. Betapa besar partisipasinya sehingga tak ada satupun
kawan kami yang mencoba menyia-nyiakan kesempatan ini. Memang sejak dahulu aku
ingin bisa membaca dan menulis seperti tokoh-tokoh cerdas yang biasa kutemui di
alam mimpi. Hanya membayangkan dan kufikir itu adalah hal yang mustahil
untukku. Maklum saja sejak kecil aku diajarkan bertarung dengan macan atau
binatang buas lainnya untuk jadi santapan semalam. Juga mencari sagu di hutan yang
sering kali membuatku tersesat. Tapi, itu dulu, dulu!!
Sore seperti ini, tak seperti biasanya
sejak seminggu yang lalu kami berhenti bergembira bersama bermain sepakbola di
lapangan dekat sungai dengan batok kelapa. Semua tergantikan dengan kegiatan belajar
bersama. Di balai desa yang masih sangat tradisional. Gentingnya saja masih
menggunakan daun yang di tumpuk-tumpuk rapi untuk melindungi kami dari hujan.
Tanpa pintu dan jendela sehingga rasanya senja juga memberi harapan besar pada
kami. Tunas muda bangsa yang baru saja melangkah setelah lama vakum dari dunia
pendidikan. Ah tidak ! bukan vakum tapi kami memang tak pernah mengenal
pendidikan.
Sore adalah waktu
yang tak ingin terbang sia-sia oleh penduduk desa. Karna memang aku dan banyak
warga disini takut dengan realita kegelapan yang tak bisa di hindarkan. Satu
rumah kadang hanya memiliki satu lampu lampion kecil yang menyala karena minyak
tanah.
Dulu waktu malam
datang, lampion itu hanya sebagai penerang agar tidak terasa gelap gulita.
Semua masuk rumah jika malam telah datang menjamah, malam menyapa bersama para
pemburu tak berakal yang bisa saja menjadikan seorang balita untuk makanan.
Warga disini sangat takut akan semua itu. Warga diam dan bersiap untuk tidur.
Tapi kali ini tidak, aku telah menemukan cara yang tepat untuk mengisi waktu
kosong. Kembali mengulang membaca dan menulis seperti yang diajarkan guruku
tadi pagi. Terus dan terus seperti mimpiku yang tak pernah berhenti. Seperti
anganku yang kuharap bukan hanya sekedar angan. Dan aku selalu yakin.
***


Baru beberapa bulan yang lalu, lima bulan
tepatnya. Sepertinya aku sudah tiada minat lagi untuk belajar terlalu tinggi.
Semua minat ku tiba-tiba lenyap, entah siapa yang mengambilnya dariku. Ini
bukan karna aku tak mau menjadi mentari. Tapi aku tak bisa beradaptasi dengan
zaman yang sepertinya menyuruhku untuk saling menjerumuskan dalam jurang
kegagalan. Mungkin juga mentalku yang tak siap dengan orang-orang kota yang
terlalu pandai, yang selalu meng-anggap remeh tak ada daya kaum lemah seperti
halnya kauwan-kawan ku disana.
Hanya bertahan
beberapa bulan saja. Di kota besar aku selalu rindu pada desaku. Sempat kutulis
surat pendek yang mengenang perjalanku. Yang mungkin kuselipkan pada desah
angin agar sampaii dilanggit ketujuh.
***
“Surabaya
terindahku”
Ternyata
realita kehidupan kadang memang tak pernah bisa dimengerti, memandang sebuah
hal baik yang menyimpan begitu besar dampak negative. Kalau bukan itu, mungkin
aku yang salah menilai bahwa agamaku terlalu ketat untuk bercengkrama bersama
peri. Ah tidak! Semuanya benar. Aku yang salah tak pernah berterima kasih pada
karunia tuhan yang diberikan padaku. Kufikir kota-kota besar seperti ini yang
akan mengantarkanku menari-nari juga menjadi mentari. Namun, semua salah.
Sangat salah!
Antara
pergaulan desaku dengan kota yang tak terjangkau nalar. Bayangkan saja, baru dua
minggu aku kenal dengan seseorang wanita. Dia sudah mengajakku pergi kesurga
dunia! Tapi maaf aku tidak suka pergi kesurgamu. Sengaja saja aku tolak karna
aku bukan orang yang mudah menerima tawaran wanita untuk berjalan-jalan di
bawah pepohonan. Dan yang paling aku herankan lagi. Disini mayoritas nilai
dapat dibeli tanpa usaha. Kecerdasan hanya berbentuk tulisan yang bisa luntur,
dalamnya kosong. Dimana otak mereka? Mementingkan ijazah daripada harga diri
yang sulit di cari.
***
Begitulah isi
sejengkal surat yang kutulis. Aku berharap mereka membacanya.
*Santri
kelas lll Intensif B, asal Gresik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar