Selasa, 23 Oktober 2012


Lampion Kecil
Aqshol Amri*

T
erkadang nasib memang tak memihak pada orang-orang pedalaman, meskipun sejatinya dari yang dapat kuamati semangat kami lebih membara dibandingkan kebakaran di kota besar yang melahap ratusan rumah. Aku sadar akan toleransi para korupsi yang jarang mengayomi orang-orang bodoh seperti kami. Kaum bodoh yang selalu percaya bahwa kami bisa bersinar seperti mentari. Dan menari bersama para mentri yang biasa di temui di diskotik-diskotik tempat keluarga bodoh kami menari.
***

Disore seperti ini berduyung-duyung aku dan kawan kecil di desa sekitar 150Km dari ibukota irian jaya senantiasa berkumpul menuju balai desa. Mengikuti pelatihan membaca dan menulis untuk kaum bodoh buta huruf seperti kami. Tentu saja dengan keterbatasan hingga pensilpun kadang harus bergantian. Tapi aku tak pernah putus dari keyakinan, sehingga hasratku untuk pintar membuatku tak pernah terlambat datang menadahi ilmu dari guru kiriman ibu kota ternama yang di utus untuk mengurus desaku. Betapa besar partisipasinya sehingga tak ada satupun kawan kami yang mencoba menyia-nyiakan kesempatan ini. Memang sejak dahulu aku ingin bisa membaca dan menulis seperti tokoh-tokoh cerdas yang biasa kutemui di alam mimpi. Hanya membayangkan dan kufikir itu adalah hal yang mustahil untukku. Maklum saja sejak kecil aku diajarkan bertarung dengan macan atau binatang buas lainnya untuk jadi santapan semalam. Juga mencari sagu di hutan yang sering kali membuatku tersesat. Tapi, itu dulu, dulu!!
Sore seperti ini, tak seperti biasanya sejak seminggu yang lalu kami berhenti bergembira bersama bermain sepakbola di lapangan dekat sungai dengan batok kelapa. Semua tergantikan dengan kegiatan belajar bersama. Di balai desa yang masih sangat tradisional. Gentingnya saja masih menggunakan daun yang di tumpuk-tumpuk rapi untuk melindungi kami dari hujan. Tanpa pintu dan jendela sehingga rasanya senja juga memberi harapan besar pada kami. Tunas muda bangsa yang baru saja melangkah setelah lama vakum dari dunia pendidikan. Ah tidak ! bukan vakum tapi kami memang tak pernah mengenal pendidikan.
Sore adalah waktu yang tak ingin terbang sia-sia oleh penduduk desa. Karna memang aku dan banyak warga disini takut dengan realita kegelapan yang tak bisa di hindarkan. Satu rumah kadang hanya memiliki satu lampu lampion kecil yang menyala karena minyak tanah.
Dulu waktu malam datang, lampion itu hanya sebagai penerang agar tidak terasa gelap gulita. Semua masuk rumah jika malam telah datang menjamah, malam menyapa bersama para pemburu tak berakal yang bisa saja menjadikan seorang balita untuk makanan. Warga disini sangat takut akan semua itu. Warga diam dan bersiap untuk tidur. Tapi kali ini tidak, aku telah menemukan cara yang tepat untuk mengisi waktu kosong. Kembali mengulang membaca dan menulis seperti yang diajarkan guruku tadi pagi. Terus dan terus seperti mimpiku yang tak pernah berhenti. Seperti anganku yang kuharap bukan hanya sekedar angan. Dan aku selalu yakin.
***
Ce-eSDiantara keramaian kota yang terasingkan. Aku menemukan hal yang baru di mata orang desa sepertiku. Di Surabaya tepatnya, merantau yang sudah kudambakan lima belas tahun yang lalu. Sejak datang si kota ini, telah ku pilih tempat tinggal kost yang luasnya se-box mobil pengangkut barang. Tetapi, tak jauh dari lokasi kuliahku. Seperti yang dulu aku memang terbiasa dengan keterbatasan. Dan lagi-lagi aku menjadi orang yang terasingkan.
Baru beberapa bulan yang lalu, lima bulan tepatnya. Sepertinya aku sudah tiada minat lagi untuk belajar terlalu tinggi. Semua minat ku tiba-tiba lenyap, entah siapa yang mengambilnya dariku. Ini bukan karna aku tak mau menjadi mentari. Tapi aku tak bisa beradaptasi dengan zaman yang sepertinya menyuruhku untuk saling menjerumuskan dalam jurang kegagalan. Mungkin juga mentalku yang tak siap dengan orang-orang kota yang terlalu pandai, yang selalu meng-anggap remeh tak ada daya kaum lemah seperti halnya kauwan-kawan ku disana.
Hanya bertahan beberapa bulan saja. Di kota besar aku selalu rindu pada desaku. Sempat kutulis surat pendek yang mengenang perjalanku. Yang mungkin kuselipkan pada desah angin agar sampaii dilanggit ketujuh.
***

                “Surabaya terindahku”
Ternyata realita kehidupan kadang memang tak pernah bisa dimengerti, memandang sebuah hal baik yang menyimpan begitu besar dampak negative. Kalau bukan itu, mungkin aku yang salah menilai bahwa agamaku terlalu ketat untuk bercengkrama bersama peri. Ah tidak! Semuanya benar. Aku yang salah tak pernah berterima kasih pada karunia tuhan yang diberikan padaku. Kufikir kota-kota besar seperti ini yang akan mengantarkanku menari-nari juga menjadi mentari. Namun, semua salah. Sangat salah!
Antara pergaulan desaku dengan kota yang tak terjangkau nalar. Bayangkan saja, baru dua minggu aku kenal dengan seseorang wanita. Dia sudah mengajakku pergi kesurga dunia! Tapi maaf aku tidak suka pergi kesurgamu. Sengaja saja aku tolak karna aku bukan orang yang mudah menerima tawaran wanita untuk berjalan-jalan di bawah pepohonan. Dan yang paling aku herankan lagi. Disini mayoritas nilai dapat dibeli tanpa usaha. Kecerdasan hanya berbentuk tulisan yang bisa luntur, dalamnya kosong. Dimana otak mereka? Mementingkan ijazah daripada harga diri yang sulit di cari.
***

Begitulah isi sejengkal surat yang kutulis. Aku berharap mereka membacanya.


*Santri kelas lll Intensif  B,  asal Gresik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar