Selasa, 23 Oktober 2012


untuk Senja

Wildan Ismail*



M
atahari rupanya sudah tak tahan dengan posisi menggantung di barat terlalu lama. Tanpa ucapkan salam dia pun undurkan diri dari pandangan Senja yang kagum terhadapnya. Dengan begitu aku akan sebatang senyum mengalir di bibir Senja


Matahari tunjukkan kekaisarannya dikala akan rasuki ujung barat dunia, menjelma menjadi senja dan nyatanya mengagumkan seluruh umat. Seorang gadis kecil di sampingku rupanya sangat menyukai suasana dikala senja. Atau mungkin rasa sukannya terhadap senja hari lebih pantas disebut cinta. Entahlah apa yang melatarbelakangi rasa kagum dan cintanya terhadap sinar merah mentari ketika ucapkan wassalam ini? Apa karena nama gadis ini Senja sehingga dia teramat kagum dengan senja hari yang larutkan keindahan? Entahlah
Dengan umur yang masih tunjukan jarumnya di angka delapan, Senja sudah tahu makna kagum dan cinta terhadap sesuatu. Dia memang bocah yang pandai, dan aku yakin senja harilah yang akan mendorongnya kea rah kesuksesan.
“kak Juna, kak Juna janji kan akan selalu temani Senja melihat keindahan senja hari di danau ini?” ujar Senja
“kakak janji Senja, kakak akan selalu temani Senja.”
“terimakasih ya kak, kakak memang kakak yang baik.”
Matahari rupanya sudah tak tahan dengan posisii menggantung di barat terlalu lama. Tanpa ucapkan salam dia pun undurkan diri dari pandangan Senja yang kagum terhadapnya. Dengan begitu aku akan sebatang senyum mengalir di bibir Senja, seraya mengajakku pulang kerumah.
Hari semakin tak terang di buat alam. Ku tuntun lengan kecil Senja dengan kadar sayang yang teramat tinggi. Kita lalui jalan setapak kecil ke arah kota agar raga dua insan ini pijakkan kaki di tempat yang disebut Griya. Malam ini rupanya berbeda dengan malam-malam yang lain. Perasaan tak tahu rasa tercampur di larutan jantungku. Aku takut akan terjadi sesuatu dengan gadis yang teramat ku cinta ini. Sebab aku tak kuat jika harus lihatnya menderita.
Jalan yang kita lalui semakin menjahui danau, keramaian kota pun sudah terasa di tempat ini. Delapan kali jumlah yang tak mampu kutafsir panjang aspal mulai dilalulalangi kendaraan. Senja yang sedari tadi berjalan jauh rupanya sudah mulai lelah.
“kak, Senja haus.”
“kamu tunggu disini sebentar ya, kakak mau belii minum.”
Ce-eS“iya kak.”
Sementara sesaat aku tinggalkan Senja duduk sendiri di pos jaga. Sebab rasa haus di tenggorokan Senja wajibkan aku untuk seberangi sungai aspal untuk dapatkan sebotol air mineral dari toko si seberang. Kulihat Senja dari posisiku. Saat ini tak dapat lagi ku pegang pergelangannya sebab jarak sejengkal aspal halau hadirnya. Yang ku bisa kini hanya pandangi mungil raut wajahnya sambil kupastikan bahwasanya ia tak apa-apa ku tinggal sendiri di seberang sana.
                “mau beli apa nak?” sapa seorang ibu penjaga toko
                “air mineral satu bu.” Jawabku
                “yang ukuran besar apa yang ukuran sedang?”
                “yang….”
Belum sempat kulanjutkan pilihanku diantara dua volume botol itu suara seorang lelaki gemparkan suasana disekitar titik wujudkan.
“awasss!!!”
Seorang gadis delapan tahun terserempat sebuah mobil peti kemas dari arah barat. Malang sekali nasib gadis kecil itu. Kupandang lagi Senja di makan terakhir aku tinggal dia. Karena aku takut terjadi sesuatu padanya. Namun, tak kujumpai raga gadis mungil itu disana. Apakah yang tertabrak tadi? Tidak mungkin dia Senja. Tak sadar aku berlari menuju kerumunan insan yang menyaksikan tubuh bocah yang tengah terkapar dijalan. Kuterawang dengan pasti bahwa tubuh itu bukan Senja. Tapi takdir berseberangan dengan apa yang aku harapkan gadis itu memang…
“Senja!!!” teriakku kemudian.
***
Terdiam aku tertimpa renungan aku kini di Lorong sepi dengan dua lampu di ujung yang saling bejahuan. Hanya mereka yang kini temani kesendiriankku kini. juga papan dengan tiga huruf times new roman. UGD, pandangi aku yang kini sepi. Tak dapat kutafsir keadaan gadis yang paling kusayang diruang di balik papan itu. Aku khawatir terkadang juga tak sanggup apabila senja harus merasakan hal yang menyakitkan dalam hidupnya.
Kusaksikan keadaan dua jarum dalam tabung yang terkait di lenganku telah capai sudut siku. Tepatnya tiga jam sudah Senja berada diruang itu. Hati serta rasaku semakin gemuruh. Yaa Allah jangan biarkan Senja menangis. Doa ku dalam sanubari yang tak dangkal letaknya.
Seorang lelaki dengan pakaian asing berwarna hijau tunjukkan raganya dari dalam ruang. Harap digiling cemas aku dengan apa yang terjadi. Melihat wajahku yang semrawut dia makin gugup tuk ucapkan sesuatu.
“apa yang terjadi pada senja dokter?” tanyaku
“sayang sekali mas.” Jawabnya menyesal.
“apa senja sudah tiada dokter?"
“tenang dulu mas, gadis itu masih hidup.”
“lalu apa yang terjadi padanya dok?”
“kornea matanya rusak sebab kemasukkan pecahan kaca sepion mobil, akibatnya dia mengalami kebutaan.”
Sedih semakin tertanam di Qalbu-ku. Terawang masa depan dimana Senja yang aku sayang tak mampu pandang indahnya langit  senja. tak sanggup aku meminum tetesan air dari ‘ain nya.
“terus apa ada kemungkinan mata Senja sembuh dok?” tanyaku melanjutkan
“untuk kemungkinnan sembuh, insyaAllah ada, dengan adanya donor kornea untuk senja.”
“apa donor itu sudah ada dok?”
“donor kornea sangat sulit diperoleh, mas. Jadi saya mohon maaf.”
“gunakan saja mata saya dokter. Dengan begitu Senja dapat melihat lagi.”
“tidak bisa. Donor mata hanya bisa didapat dari orang yang sudah meninggal.”
Menyesal kini aku dengan perbuatanku tinggalkan senja sendiri di pos jaga. Seandainya aku tak meninggalkannya pasti semua ini akan baik saja, dan senja akan terus bisa saksikan matahari yang menggantung itu.
***
Bimbang aku dengan apa yang harus kulakukan. Apa aku harus lepas aksesoris tubuhku itu demi sembuhnya senja. Kini diriku seperti sebuah komputer yang di install dua operating system sekaligus. Tapi seorang donor kornea haruslah dari seseorang yang telah meninggal.
Tertawa terbahak-bahak iblis berkaos merah bertuliskan prosshop di janib-ku. Seolah senang dengan posisiku seperti ini hingga dia bisikkan usulannya di telingaku, usulan yang bukanlah sembarang usul. Usul luar biasa yang membuat hatiku tertarik, meskipun dengan usulan itu harus ku akhiri nafasku.
Rupanya usulan serta saran iblis itu mampu membilas sehat akalku. Kini mulai kutulis dua pucuk surat dengan not haru. Agar setelah nanti aku serap sebotol jamu pembasmi nyamuk ditanganku semua akan berjalan seperti yang aku harapkan.

Surat pertama kutujukan untuk dokter yang menangani Senja.

Banyak sekali hal bodoh yang telah aku lakukan dalam hidupku. Tak pedulikan segala hal yang ada di sekitarku. Namun kali ini aku lakukan hal yang paling bodoh, tapi dalam hatiku hal bodoh ini adalah kunci agar Senja bisa dapatkan lagi senjanya. Untuk itu aku korbankan nyawaku demi kornea mataku yang nantinya akan berpindah hak milik menjadi milik senja sepenuhnya. Tapi jangan sampai Senja tahu bahwa kornea itu adalah milikku, kakaknya.
           
Dan surat kedua kutulis dengan nada kepura-puraan untuk senja.
               
Senja, maafkan kakak terpaksa pergi jauh demi bisa membiayai operasi matamu. Senja jangan sedih karena kakak nantinya akan pulang dan kita sama-sama menikmati keindahan senja hari lagi. Senja harus janji sama kakak, Senja harus kuat meski tanpa ada kakak di samping Senja.

Setelah kedua lampiran surat telah di cetak melalui titik rongga di ujung pena ku secara otodidak sebotol cairan pembasmi serangga itu pun mengalir di tenggorokanku. Seraya kemudian sebuah tirai hitam kelam raksasa dengan tulisan the end terbuka halau pandangku.
  
*Santri kelas III Intensif C, asal Lumajang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar